06. Berikut ini Blogger posting Materi PAI (Tarikh/SKI) Kelas XII Semester Gasal. Anda membutuhkan? Silahkan klik download & PASTI BISA dan PASTI dijamin FREEDOWLOAD. Semoga bermanfaat. Salam JePe PASTI BISA Anda PASTI BISA...!!!
PAI SMK/SMA/MA
Kelas XII Semester Gasal
TARIKH (SKI)
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Standar Kompetensi :
2. Memahami perkembangan Islam di
Indonesia.
Kompetensi Dasar
:
2.1. Menjelaskan perkembangan Islam di
Indonesia.
2.2. Menampilkan
contoh perkembangan Islam di
Indonesia.
2.3. Mengambil
hikmah dari perkembangan Islam
di Indonesia.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA
A. MASUKNYA
ISLAM DI INDONESIA
Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia,
berbagai macam agama dan kepercayaan seperti Animisme, Dinamisme, Hindu, dan
Buddha teLah dianut oleh masyarakat Indonesia. Bahkan pada abad 7-12 M di
beberapa wiLayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan
Buddha. Masih ingatkah kamu? Kalau lupa, coba pelajari kembali tentang
kerajaan-kerajaan tersebut dalam buku pelajaran sejarah Indonesia!
Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di
Indonesia,” pada tanggal 17 - 20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh
sejumlah budayawan dan sejarawan Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk
ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriah (kira-kira abad 8 Masehi).
Islam
masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu :
a. Jalur
utara, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) - Damaskus –Bagdad - Gujarat
(Pantai Barat India) - Srilangka – Indonesia
b. Jalur
selatan, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) - Yaman – Gujarat - Srilangka -
Indonesia
Daerah pertama dan kepulauan Indonesia yang
dimasuki Islam adalah pantai Sumatera bagian utara.
Berawal dari daerah itulah Islam mulai
menyebar ke berbagai pelosok Indonesia, yaitu: wilayah-wilayah Pulau Sumatera
(selain pantai Sumatera bagian utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau
Kalimantan, Kepulauan Maluku dan sekitarnya, dalam kurun waktu yang
berbeda-beda.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Islam
telah tersebar ke seluruh pelosok kepulauan Indonesia, sehingga mayoritas
bangsa Indonesia beragama Islam. Hal itu disebabkan antara lain sebagai berikut
:
·
Adanya dorongan kewajiban bagi setiap
Muslim/Muslimah, khususnya para ulamanya, untuk berdakwah mensyiarkan Islam
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
yang artinya, “Sampaikanlah olehmu apa-apa yang berasal daripadaku, walau
hanya satu ayat.” (Al-Hadis).
·
Adanya kesungguhan hati dan keuletan para
juru dakwah untuk berdakwah secara terus-menerus kepada keluarga, para
tetangga, dan masyarakat sekitarnya. Mereka berdakwah sesuai dengan tuntunan
Allah SWT dan rasul-Nya, yakni: tidak dengan paksaan dan kekerasan
(peperangan), dengan cara bijaksana (bil-hikmah), dengan pengajaran yang
baik (mau‘izatul hasanah), dengan
bertukar pikiran disertai argumentasi-argumentasi yang benar dan tepat,
dan dengan contoh teladan yang betul-betul islami. Hal ini sesuai dengan Firman
Allah SWT yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang baik
dengan yang batil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik.” (Q.S. An-Nahl, 16: 125)
·
Persyaratan untuk memasuki Islam sangat
mudah, seseorang telah dianggap masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat. Demikian juga ajaran-ajaran Islam, mudah dipahami dan
diamalkan oleh segenap rakyat Indonesia. Upacara-upacara dalam agama Islam lebih sederhana bila dibandingkan dengan
upacara-upacara dalam agama lainnya.
·
Ajaran
Islam tentang persamaan dan tidak adanya sistem kasta dan diskriminasi mudah
menarik simpati rakyat, terutama dan lapisan bawah.
·
Banyak
raja-raja Islam yang ada di berbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif
melaksanakan kegiatan dakwah islamiah, khususnya terhadap rakyat mereka. Umumnya apa yang dianjurkan oleh para raja senantiasa
ditaati oleh rakyatnya.
B. PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA
Berikut ini
perkembangan Islam di Indonesia.
1. Sumatera
Dalam bahasan terdahulu sudah disebutkan
hahwa daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasuki Islam adalah
Sumatera bagian utara, seperti Pasai dan Perlak. Hal ini mudah diterima akal,
karena wilayah Sumatera bagian Utara letaknya di tepi Selat Malaka, tempat lalu
lintas kapal-kapal dagang dari India Ke Cina.
Para pedagang dari India, yakni bangsa Arab,
Persi dan Gujarat, yang juga para mubalig Islam, banyak yang menetap di
bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Mereka menikah dengan wanita-wanita
pribumi yang sebelumnya telah diislamkan, sehingga terbentuklah
keluarga-keluarga Muslim. Selanjutnya mereka mensyiarkan Islam dengan cara yang
bijaksana, baik dengan lisan maupun sikap dan perbuatan, terhadap sanak famili,
para tetangga, dan masyarakat sekitarnya. Sikap dan perbuatan mereka yang baik,
kepandaian yang lebih tinggi, kebersihan jasmani dan rohani, sifat kedermawanan
serta sifat-sifat terpuji lainnya yang mereka miliki menyebabkan para penduduk
hormat dan tertarik pada Islam, lalu tertarik masuk Islam.
Para mubalig Islam pada waktu itu, tidak
hanya berdakwah terhadap para penduduk biasa, tetapi juga kepada raja-raja
kecil yang ada di bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Ketika raja-raja
tersebut masuk Islam, rakyat mereka pun kemudian banyak yang masuk Islam.
Hingga akhirnya berdiri kerajaan Islam
pertama, yaitu Samudra Pasai.Kerajaan ini berdiri pada tahun 1261 M, di pesisir
timur Laut Aceh Lhokseumawe (Aceh Utara), rajanya bernama Marah Silu, bergelar
Sultan Al-Malik As-Saleh. Beliau
menikah dengan putri Raja Perlak yang memeluk agama Islam.
Samudra Pasai
semakin berkembang dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hubungannya
dengan pelabuhan Malaka, yang waktu itu sudah menjadi kerajaan kecil, semakin
ramai, sehingga di tempat itu pun sejak abad ke-14 Masehi telah tumbuh dan
berkembang masyarakat Islam.
Seiring dengan
kemajuan kerajaan Samudra Pasai yang sangat pesat. pengembangan agama Islam pun
mendapat perhatian dan dukungan penuh. Para ulama dan mubalignya menyebar ke
seluruh Nusantara, ke pedalaman Sumatera, pesisir barat dan utara Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Tidore, dan pulau-pulau lain di kepulauan
Maluku. Itulah sebabnya di kemudian hari Samudra Pasai terkenal dengan sebutan
Serambi Mekah.
2. Jawa
Kapan tepatnya Islam mulai masuk ke Pulau
Jawa tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, penemuan nisan makam Siti
Fatimah binti Maimun di daerah Leran/Gresik yang wafat tahun 1101 M dapatlah
dijadikan tonggak awal kedatangan Islam di Jawa.
Hingga pertengahan abad ke-13, bukti-bukti
kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang masuknya Islam di Jawa
sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke-13 M hingga abad-abad berikutnya,
terutama sejak Majapahit mencapai puncak kejayaannya, bukti-bukti proses
pengembangan Islam ditemukan lebih banyak lagi. Misalnya saja penemuan kuburan
Islam di Troloyo. Trowulan, dan Gresik, juga berita Ma Huan (1416 M) yang
menceritakan tentang adanya orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Gresik.
Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu telah terjadi proses penyebaran agama
Islam, mulai dari daerah pesisir dan kota-kota pelabuhan sampai ke pedalaman dan
pusat Kerajaan Majapahit. Adanya proses penyebaran Islam di Kerajaan Majapahit
terbukti dengan ditemukannya nisan makam Muslim di Trowulan yang letaknya
bendekatan dengan kompleks makam para bangsawan Majapahit.
Pertumbuhan masyarakat Muslim di sekitar Majapahit
sangat erat kaitannya dengan perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan
yang dilakukan orang-orang Islam yang telah memiliki kekuatan politik dan
ekonomi di Kerajaan Samudra Pasai dan Malaka. Untuk masa-masa selanjutnya
pengembangari Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para ulama dan mubalig yang
kemudian terkenal dengan sebutan Wali Sanga (sembilan wali).
WALI SANGA
1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Magribi merupakan wali
tertua di antara Wali Sanga yang mensyiarkan agama Islam di Jawa Timur,
khususnya di Gresik, sehingga dikenal pula dengan nama Sunan Gresik.
Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan
masjid dan pesantren, tempat mengajarkan Islam kepada para santri dan kepada
segenap penduduk agar menjadi umat Islam yang bertakwa. Beliau
wafat pada tahun 1419 M (882 H) dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik.
2. Sunan
Ampel
Sunan Ampel nama aslinya adalah Raden Rahmat. Lahir pada
tahun 1401 M dan wafat tahun 1481 M serta dimakamkan di desa Ampel.
Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tuban bernama
Nyi Ageng Manila dan dikaruniai empat orang anak, yaitu: Maulana Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Nyi Ageng Maloka, dan putri yang
menjadi istri Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Ampel antara lain :
o
Mendirikan
pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini lahir para mubalig
kenamaan, seperti: Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak pertama),
Raden Makdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang
pernah diutus untuk mensyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
o
Berperan
aktif dalam membangun masjid agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M.
o
Memelopori
berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Fatah sebagai sultan
pertamanya.
3. Sunan
Bonang
Sunan
Bonang nama aslinya adalah Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel, lahir tahun 1465
M dan wafat tahun 1515 M. Semasa hidup beliau mempelajari Islam dan ayahnya sendiri,
kemudian bersama Raden Paku merantau ke Pasai untuk mendalami Islam. Jasa
beliau sangat besar dalam penyiaran Islam.
4. Sunan
Giri (1365 - 1428)
Beliau
adalah salah seorang wali yang sangat besar pengaruhnya di Jawa, terutama di
Jawa Timur. Ayahnya, Maulana Ishak, berasal dari Pasai dan ibunya, Sekardadu,
putri Raja Blambangan Minak Sembayu. Belajar Islam di pesantren Ampel Denta dan
di Pasai.
Sekembalinya
di Gresik, Sunan Giri (Raden Paku) mendirikan pesantren di Giri, kira-kira 3 km
dari Gresik. Selain itu, beliau mengutus para mubalig untuk berdakwah ke daerah
Madura, Bawean, Kangean, bahkan ke Lombok, Makasar, Ternate dan Tidore.
5. Sunan
Drajat
Nama
aslinya adalah Syarifuddin, putra Sunan Ampel dan adik Sunan Bonang. Beliau
berjasa dalam mensyiarkan Islam dan mendidik para santri sebagai calon mubalig.
Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah dan bahkan ada yang dari Ternate
dan Hitu Ambon.
6. Sunan
Gunung Jati
Sunan
Gunung Jati lebih dikenal dengan sebutan Syarif Hidayatullah atau Syeikh
Nurullah. Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat dan berhasil
mendirikan dua buah kerajaan Islam, yakni Banten dan Cirebon, serta berhasil
pula menguasai pelabuhan Sunda Kelapa yang dulunya dikuasai oleh kerajaan Hindu
Pakuan. Syarif Hidayatulah wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung
Jati (7 km sebelah utara Cirebon).
7. Sunan
Kudus
Nama
aslinya adalah Ja’far Sadiq, lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada
tahun 1550 M (960 H). Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah Kudus dan
sekitarnya, Jawa Tengah bagian utara. Untuk melancarkan mekanisme dakwah Islam,
Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang terkenal sebagai Masjid Menara Kudus,
yang dipandang sebagai warisan kebudayaan Islam Nusantara.
Sunan
Kudus juga terkenal sebagai seorang sastrawan, di antara karya sastranya yang
terkenal adalah gending Maskumambang dan Mijil.
8. Sunan
Kalijaga
Nama
aslinya adalah Raden Mas Syahid, salah seorang Wali Sanga yang terkenal
karena berjiwa besar, toleran, dan juga pujangga. Beliau adalah seorang mubalig
yang berdakwah sambil berkelana. Di dalam dakwahnya Sunan Kalijaga sering
menggunakan kesenian rakyat (gamelan, wayang, serta lagu-lagu daerah). Beliau
wafat pada akhir abad ke-16 dan dimakamkan di desa Kadilangu sebelah timur laut
kota Demak.
9. Sunan
Muria
Nama aslinya Raden Umar Said, putra dari Sunan Kalijaga.
Beliau seorang mubalig yang berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan daerah
pegunungan. Di dalam dakwahnya beliau menggunakan sarana gamelan serta kesenian
daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, yang terletak di sebelah
utara kota Kudus.
3. Sulawesi
Pulau Sulawesi sejak abad ke-15 M sudah
didatangi oleh para pedagang Muslim dari Sumatera, Malaka, dan Jawa. Menurut
berita Tom Pires, pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak terdapat
kerajaan-kerajaan kecil yang sebagian penduduknya masih memeluk kepercayaan
Animisme dan Dinamisme. Di antara kerajaan-kerajaan itu yang paling besar dan
terkenal adalah kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, dan Sopang.
Nama Gowa Tallo sebenarnya adalah nama dua
kerajaan yang berdampingan dan selalu bersatu, seolah-olah merupakan kerajaan
kembar. Oleh karena letaknya berada di kota Makasar, maka Gowa Tallo disebut
juga Kerajaan Makasar, yang istananya terletak di Sumba Opu.
Pada tahun 1562 - 1565 M, di bawah pimpinan
Raja Tumaparisi Kolama, Kerajaan Gowa Tallo berhasil menaklukkan daerah
Selayar, Bulukumba, Maros, Mandar, dan Luwu. Pada masa itu, di Gowa Tallo telah
terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dalam jumlah yang cukup besar.
Kemudian atas jasa Dato Ribandang dan Dato Sulaemana, penyebaran dan
pengembangan Islam menjadi lebih intensif dan mendapat kemajuan yang pesat.
Pada tanggal 22 September 1605 Raja Gowa yang bernama Karaeng Tonigallo masuk
Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Beliau menjalin hubungan baik
dengan kerajaan Ternate, bahkan secara pribadi beliau bersahabat baik dengan
Sultan Babullah dari Ternate.
Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak
Islam, Gowa melakukan perluasan kekuasaannya. Daerah Wajo dan Sopeng berhasil
ditaklukkan dan diislamkan. Demikian juga Bone, berhasil ditaklukkan pada tahun
1611 M. Sejak saat itu Gowa menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai. Para
pedagang dari Barat yang hendak ke Maluku singgah di Gowa untuk mengisi
perbekalan, bahkan kemudian rempah-rempah dari Maluku dapat diperoleh di sana,
terkadang dengan harga yang lebih murah daripada di Maluku. Gowa menjadi
pelabuhan dagang yang luar biasa ramai, disinggahi para pedagang dari berbagai
daerah dan mancanegara. Hal ini tentu saja mendatangkan keuntungan yang sangat
besar, ditambah lagi persembahan dan upeti dari daerah-daerah taklukannya, maka
Kerajaan Gowa pun menjadi kerajaan yang kaya-raya dan disegani pada masanya.
4. Kalimantan
Kalimantan, yang letaknya lebih dekat dengan
Pulau Sumatera dan Jawa, ternyata menenima kedatangan Islam lebih belakangan
dibanding Sulawesi dan Maluku.
Sebelum Islam masuk ke Kalimantan, di
Kalimantan Selatan terdapat kerajaan-kerajaan Hindu yang berpusat di negara
Dipa, Daha, dan Kahuripan yang terletak di hulu sungai Nagara dan Amuntai Kimi.
Kerajaan-kerajaan ini sudah menjalin hubungan dengan Majapahit, bahkan salah
seorang raja Majapahit menikah dengan Putri Tunjung Buih. Hal tersebut tercatat
dalam Kitab “Negara Kertagama” karya Empu Prapanca.
Menjelang
kedatangan Islam, Kerajaan Daha diperintah oleh Maha Raja Sukarama. Setelah
beliau meninggal digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Hal ini menimbulkan
kemelut keluarga, karena Pangeran Samudra (cucu Maha Raja Sukarama) merasa
lebih berhak atas takhta kerajaan. Akhirnya Pangeran Samudra dinobatkan menjadi
Raja Banjar oleh para pengikut setianya, yang membawahi daerah Masik, Balit,
Muhur, Kuwin dan Balitung, yang terletak di hilir sungai Nagara.
Berdasarkan hikayat
Banjar, Pangeran Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak (Sultan Trenggono)
untuk memerangi Kerajaan Daha, dengan perjanjian apabila Kerajaan Daha dapat
dikalahkan maka Pangeran Samudra beserta rakyatnya bersedia masuk Islam.
Ternyata berkat bantuan tentara Demak, Pangeran Tumenggung dan Kerajaan Daha
dapat ditundukkan sesuai dengan perjanjian, akhirnya Raja Banjar, Pangeran
Samudra beserta segenap rakyatnya masuk Islam dan bergelar Sultan Suryamullah.
Menurut A.A. Cense dalam bukunya, “De Kroniek van Banjarmasin 1928”, peristiwa
itu terjadi pada tahun 1550 M.
Sultan Suryamullah
memindahkan ibukota kerajaannya dari Muara Bahan ke Banjarmasin, yang letaknya
lebih strategis, sehingga mudah disinggahi kapal-kapal yang berukuran lebih
besar. Pada masa itu Sultan Suryamullah berhasil menaklukkan daerah Sambas,
Batanghari, Sukadana, Kota Waringin, Pambuang, Sampit, Mendawai, Sabangan, dan
lain-lain.
Hampir bersamaan
waktunya, daerah Kalimantan Timur telah pula didatangi oleh orang-orang Islam.
Berdasarkan hikayat Kutai, pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datanglah dua orang
ulama besar bernama Dato Ribandang dan Tuanku Tunggang Parangan. Kedua ulama
itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makasar masuk Islam. Dato Ribandang
kemudian kembali ke Makasar, sedangkan Tuanku Tunggang Parangan menetap di
Kutai. Raja Mahkota kemudian masuk Islam setelah merasa kalah dalam ilmu
kesaktian.
Proses penyebaran
Islam di Kutai dan sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575 M.
Penyebaran Islam secara lebih intensif sampai ke daerah-daerah pedalaman
terjadi setelah Raja Mahkota wafat. Putranya, Pangeran Aji
Langgar, dan penggantinya melakukan perluasan kekuasaan ke daerah Muara Kaman.
5. Maluku
dan Sekitarnya
Antara tahun 1400 - 1500 M (abad ke-15) Islam
telah masuk dan berkembang di Maluku, dibawa oleh para pedagang Muslim dari
Pasai, Malaka, dan Jawa. Mereka yang sudah beragama Islam banyak yang pergi ke
pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari Islam.
Raja-raja di Maluku
yang masuk Islam di antaranya:
1) Raja Ternate, yang kemudian bergelar Sultan Mahrum (1465
- 1486). Setelah beliau wafat, digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang besar
jasanya dalam mensyiarkan Islam di kepulauan Maluku dan Irian, bahkan sampai ke
Filipina.
2) Raja
Tidore, yang kemudian bergelar Sultan Jamaludin.
3) Raja
Jailolo, yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
4) Raja Bacan, yang masuk Islam pada tahun 1520 dan bergelar
Sultan Zaenal Abidin.
Selain Islam masuk
dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian, yang disiarkan oleh
raja-raja Islam Maluku, para pedagang dan para mubalig yang juga berasal dan
Maluku. Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah Miso, Jalawati,
Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
C. HIKMAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Hikmah perkembangan Islam di Indonesia dapat
dipahami dari peranan umat Islam di Indonesia pada masa penjajahan, masa perang
kemerdekaan dan masa pembangunan.
1. Masa
Penjajahan
a. Peranan
Umat Islam pada Masa Penjajahan
Sebelum kaum penjajah, yakni Portugis,
Belanda, dan Jepang, masuk ke Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia telah
menganut agama Islam. Agama Islam agama yang sempurna, yang ajarannya mencakup
berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah (akidah
dan ibadah), maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk Allah
lainnya (sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan).
Dengan dianutnya agama Islam oleh mayoritas
masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah banyak mendatangkan perubahan. Perubahan-perubahan
itu antara lain:
2) Masyarakat
Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta
dibimbing agar menghambakan diri hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
3) Rasa
persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan Islam, (lihat Q.S. An-Nahl : 90),
mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan
diskniminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan,
harkat, martabat, dan hak-hak yang sama.
4) Semangat
cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan “Hubbul-Watan
Minal-Imãn” (cinta tanah air sebagian dan iman) mampu mengubah cara berpikir
masyarakat Indonesia, khususnya para pemudanya, yang dulunya bersifat sektanian
(lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih
mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya). Hal ini ditandai dengan
lahirnya organisasi pemuda yang bernama Jong Indonesia pada bulan Februari 1927
dan dikumandangkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
5) Semboyan
yang diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi
lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk
melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara.
Mula-mula dengan cara damai, tapi karena tidak bisa lalu dengan menempuh cara
peperangan.
Allah SWT berfirman, “Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas,” (Q.S. Al-Baqarah: 190).
Menurut Islam, berperang dalam rangka
mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, negara, dan agama merupakan “Jihad
fi sabilillah” yang hukumnya wajib. Sedangkan umat Islam yang mati dalam “Jihad
fi sabilillah” tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya adalah surga.
Perubahan-perubahan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang ditanamkan Islam
tersebut mendorong umat Islam Indonesia di berbagai pelosok tanah air untuk
berjuang mengusir kaum penjajah dengan berbagai cara, antara lain dengan cara
peperangan.
Perjuangan mengusir penjajah terus berlanjut,
sampai kaum penjajah betul betul angkat kaki dari bumi Indonesia.
b. Perlawanan
Kerajaan Islam dalam Menentang Penjajahan
1. Perlawanan
terhadap Penjajah Portugis
Bangsa Portugis datang dari Eropa Barat ke
Dunia Timur, termasuk Indonesia, dengan semboyan “gold (tambang emas), glory
(kemuliaan, keagungan), dan gospel (penyebaran agama Nasrani).”
Untuk mewujudkan semboyan tersebut, bangsa
Portugis melakukan berbagai usaha dengan menghalalkan segala cara. Antara lain
pada tahun 1511 mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan
Sultan Mahmud Syah (1488 - 1511). Dari Malaka bangsa Portugis melebarkan
pengaruh dan kekuasaannya ke kepulauan Nusantara, antara lain ke kepulauan
Maluku lalu mendirikan benteng pertahanan di sana, dan ke Pulau Jawa dengan
mendirikan benteng pertahanan di Sunda Kelapa.
Sikap bangsa Portugis yang kasar dan angkuh,
yang bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan kemauannya dalam perdagangan,
menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia bangkit untuk
memberikan perlawanan mengusir penjajah Portugis dari bumi Nusantara.
Putra Mahkota Kesultanan Demak, Adipati Unus,
memimpin penyerangan terhadap penjajah Portugis di Malaka (1513), dengan
mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh bala
tentara Aceh dan Sultan Malaka yang sudah tersingkir. Namun penyerangan ini
dapat digagalkan oleh penjajah Portugis, karena keunggulan mereka di bidang
persenjataan, perlawanan terhadap penjajah Portugis yang bermarkas di Malaka
ini diteruskan oleh Sultan Trenggono yang memerintah Demak selama 25 tahun
(1521-1546). Berkali-kali beliau mengirim bantuan ke Johar dan Aceh untuk
merebut Malaka dari penjajahan Portugis, namun tetap tidak berhasil.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah
Portugis yang bermarkas di Malaka mengalami kegagalan, lain halnya dengan
perlawanan terhadap penjajah Portugis yang berpusat di Sunda Kelapa (Jakarta)
dan Maluku yang memperoleh hasil gemilang.
Pada tahun 1526 bala tentara Demak di bawah
pimpinan panglima perang Fatahillah berangkat melalui jalan laut menuju Sunda
Kelapa untuk mengusir penjajah Portugis. Setibanya di Sunda Kelapa, Fatahillah
dan bala tentaranya mengepung Sunda Kelapa dan terjadilah pertempuran sengit
melawan penjajahan Portugis. Dalam
pertempuran ini Fatahiliah dan bala tentaranya memperoleh kemenangan. Sunda
Kelapa direbut dari tangan penjajah. Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya
menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M
yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di daerah Maluku,
Portugis yang bersahabat dengan Ternate, dan Spanyol yang bersahabat dengan
Tidore, berhasil mengadu domba dua kerajaan Islam tersehut. Sementara kedua
kerajaan tersebut bertempur mati-matian, Portugis dan Spanyol mengadakan
Perjanjian Tondesilas (1529) yang isinya :
1. Maluku menjadi milik Portugis
2. Filipina Selatan menjadi milik Spanyol
Perjanjian ini
sangat menekan rakyat Maluku, terutama Ternate. Oleh karena itu, Sultan Haerun bersama rakyatnya berbalik
melawan Portugis. Kebencian rakyat Ternate semakin meluas, ketika Sultan Haerun
dibunuh secara licik pada tahun 1570. Perang pun meletus, dipimpin Sultan
Baabullah, putra Sultan Haerun, rakyat Ternate berperang dengan gagah berani.
Setelah berperarang selama empat tahun, akhirnya pada tahun 1574. rakyat
Ternate berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku.
2. Perlawanan
terhadap Penjajah Belanda
Setelah penjajah Portugis angkat kaki dari
bumi Indonesia, bangsa Indonesia kembali dijajah oleh bangsa Belanda, yang
untuk pertama kali berlabuh di Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelis de
Houtman. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia sama dengan tujuan penjajah
Portugis, yakni untuk memaksakan praktik monopoli perdagangan dalam menanamkan
kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara. Untuk
mencapai tujuan tersebut, penjajah Belanda menempuh berbagai usaha dan
menghalalkan segala cara. Misalkan, menerapkan politik Divide et Impera muslihat
damai, mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dari bumi Nusantara untuk membangun
bangsanya, dan membiarkan rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan
keterbelakangan.
Menghadapi sikap dan perilaku penjajah
Belanda yang tidak berperi kemanusiaan dan berperikeadilan tersebut,
kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam yang ada di berbagai pelosok Indonesia,
dipimpin panglima perangnya masing-masing, bangkit mengadakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, sederetan
nama para pejuang kusuma bangsa yang rela menderita, bahkan berkorban jiwa
dalam berperang melawan penjajah Belanda, demi tegaknya kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia tercinta.
Di Pulau Jawa nama-nama tersebut antara lain:
Sultan Ageng Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus Buang dari Kesultanan Banten,
Sultan Agung dari Kesultanan Mataram, dan Pangeran Diponegoro dari Kesultanan
Yogyakarta. Di Pulau Sumatera tercatat nama Tuanku Imam Bonjol, yang telah
meminipin bala tentara Muslim dalam berperang melawan penjajah Belanda selama
17 tahun, sehingga merepotkan penjajah Belanda dan menimbulkan kerugian yang
tidak sedikit. Setelah Tuanku Imam Bonjol tertangkap, perjuangan diteruskan
oleh Tuanku Tambusai.
Dari Kesultanan Aceh kita mcngenal sederetan
nama para panglima perang Islam seperti: Panglima Polim, Panglima Ibrahim,
Teuku Cek Ditiro, Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, dan
Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah.
Dari Maluku, yakni dari Kesultanan Ternate
dan Tidore, tercatat nama-nama para pejuang kusuma bangsa seperti Saidi, Sultan
Jamaluddin, dan Pangeran Neuku.
Dari Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan
Gowa-Tallo dan Bone, terkenal nama para pahlawan bangsa seperti Sultan
Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sedangkan dari Kalimantan Selatan, rakyat
yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat pajak yang tinggi dan kewajiban
kerja paksa serempak mengangkat senjata di bawah pimpinan para panglima perang,
seperti : Pangeran Antasari, Kyai Demang Lemam, Berasa, Haji Masrin, Haji
Bayasin, Kyai Langlang, Pangeran Hidayat, Pangeran Maradipa, dan Tumenggung
Mancanegara.
Demikianlah nama-nama para pahlawan Islam
sebagai para pejuang kusuma bangsa dari berbagai kepulauan di Nusantara, yang
telah berperang melawan imperialisme Belanda. Sayangnya. perlawanan mereka
dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Hal ini disebabkan antara lain karena
perlawanan mereka lebih bersifat lokal regional sporadis (tidak merata) dan
kurang terkoordinasi serta persenjataan pihak kaum imperialis jauh lebih
canggih. Walaupun perlawanan para pahlawan Islam tersebut dapat dipatahkan oleh
kaum penjajah, namun perlawanan dan perjuangan umat Islam terus benlanjut
dengan berbagai bentuk dan cara, sehingga kemerdekaan bangsa dan negara
Indonesia betul-betul terwujud.
2. Masa
Perang Kemerdekaan
a. Peranan
Ulama Islam Pada Masa Perang Kemerdekaan
Para ulama memiliki peran yang sangat penting
dalam mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam perjuangan pada masa
perang kemerdekaan. Para ulama adalah orang Islam yang mendalami ilmu agama,
sehingga mereka menjadi tempat bertanya umat, dan sekaligus menjadi panutan.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasnlullah SAW yang artinya, “Ulama itu bagaikan
pelita (obor) di muka bumi, sebagai pengganti para Nabi dan sebagai pewaris
para Nabi”, (H.R. Ibnu Adi dari Ali bin Abi Thalib).
Peranan ulama Islam Indonesia pada masa perang
kemerdekaan ada dua macam :
2) Membina kader umat Islam, melalui pesantren dan aktif
dalam pembinaan masyarakat. Banyak santri tamatan pesantren kemudian
melanjutkan pelajarannya ke Timur Tengah, dan sekemhalinya dari Timur Tengah.
mereka menjadi ulama besar dan pimpinan penjuangan. Di antaranya adalah : K.H.
Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdul Halim, H. Agus Salim, dan K.H.
Abdul Wabab Hasbullah.
3) Turut benjuang secara flsik sebagai pemimpin perang.
Para pahlawan Islam
yang telah berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti:
Fatahillah, Sultan Baabullab, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Habib
Abdurrahman, adalah juga para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak
baik dan bermanfaat bagi orang banyak sehingga mereka menjadi panutan umat.
Demikian juga pada
masa penjajahan Jepang. banyak para ulama yang berperang memimpin bala tentara
Islam melawan imperialis Jepang, demi menegakkan martabat dan kemerdekaan
bangsa dan negara Indonesia. Mereka ituu antara lain: Mohammad Daud Beureuh
(pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan KH. Zaenal Mustafa
(pemimpin pesantren Sukamanah di Singaparna. Jawa Barat).
b. Peranan
Organisasi dan Pondok Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan
Sebelum abad ke-19, perlawanan terhadap
penjajah Belanda yang dipimpin oleh raja-raja Islam dan para ulama masih
bersifat lokal, sehingga dapat dipatahkan oleh kaum penjajah. Baru pada awal
abad ke- 19, gerakan perlawanan terhadap kaum penjajah lebih terorganisasi. Semua berjuang bersama demi tercapainya tujuan utama,
kemerdekaan Indonesia.
Organisasi-organisasi
tersebur antana lain:
1. Serikat
Dagang Islam/Serikat Islam
Serikat
Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun
1905 di Kota Solo. Tujuan organisasi ini pada awalnya adalah menggalang
kekuatan para pedagang Islam melawan monopoli pedagang Cina (yang mendapat
perlakuan istimewa dari penjajahan
Belanda) dan memajukan agama Islam.
Selanjutnya
atas usul Haji Omar Said Cokroaminoto pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam
diubah menjadi Serikat Islam (SI), bertujuan bukan hanya untuk memajukan para
pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk menghapus penderitaan,
penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh rakyat Indonesia akibat ulah
pen- jajahan Belanda.
Gerakan Serikat Islam mendapat sambutan luar biasa.
Dengan berbagai cara, pemerintahan Belanda berusaha mempersulit gerak Serikat
Islam. Namun, perkumpulan ini trus brkembang pesat. Dalam waktu singkat
anggotanya mencapai hampir satu juta orang.
Pada tahun 1914 telah berdiri 56 perkumpulan lokal
Serikat Islam yang telah resmi brrbentuk badan hukum yang tersebar di kota-kota
besar di Indonesia. Untuk menyeragamkan gerak dan langkah, pada tanggal 18
Maret 1916 dibentuk wadah Serikat Islam Sentral, yang diketuai oleh Haji Omar
Said Cokroaminoto.
Pada bulan Juni 1916 Serikat Islam mengadakan kongresnya
yang pertama yang dinamai Kongres Nasional Serikat Islam. Di dalam kongres itu
dijelaskan bahwa istilah “Nasional” digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat
Islam mencita-citakan adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia (baca
penduduk pribumi).
Dengan demikian, Serikat Islam merupakan organisasi yang
secara tegas melakukan upaya-upaya nyata untuk mempersatukan rakyat Indonesia
menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Pada tahun 1923 Sentral Serikat Islam mengubah namanya
menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Kemudian ruang lingkup gerakannya pun
diperluas, bukan hanya terbatas di dalam negeri saja, tetapi melebar ke manca
negara dengan jalan mencari hubungan sekaligus dukungan dan gerakan-gerakan
Islam di Negara-negara lain di seluruh dunia. Gagasan gerakan Islam
Internasional ini dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim, dengan nama pan-Islamisme.
2. Muhammadiyah
Organisasi
Islam Muhammadiyah didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada
tanggal 18 November 1912. Peranan Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda
lebih dititik beratkan pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan
meningkatkan kesejanteraan mereka, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah, baik
sekolah umum maupun sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah
penampungan bagi warga miskin dan perpustakaan-perpustakaan.
Pada
tahun 1925, tidak lama setelah pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat,
Muhammadiyah sudah tersebar di semua kota besar di seluruh Indonesia serta
berhasil membangun dan mengelola 1774 buah sekolah, 31 buah perpustakaan, 834
masjid, puluhan rumah sakit, panti asuhan, dan rumah-rumah penampungan bagi
warga miskin.
3. Nahdlatul
Ulama (NU)
NU
didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam
upaya pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU banyak melakukan usaha untuk memajukan
dan memperbanyak pesantren, madrasah serta pengajian-pengajian dengan maksud
memajukan Islam dan kaum Muslimin.
Pada
masa penjajahan Belanda, NU senantiasa berjuang menentang penjajah dan pernah
mengeluarkan pernyataan politik yang isinya :
- Menolak
kerja rodi yang dibebankan oleh penjajah kepada rakyat.
- Menolak
rencana ordonansi (peraturan pemerintah) tentang perkawinan tercatat.
- Menolak
diadakannya Milisi (wajib militer).
- Menyokong
GAPI dalam menuntut Indonesia yang memiliki parlemen kepada pemerintah kolonial
Belanda.
4. Pondok
Pesantren
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang penyelenggaraan
pendidikannya bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan
di pesantren adalah: Ilmu Tauhid, Fikih Islam, Akhlak, Ushul Fikih, Nahwu,
Saraf, dan Ilmu Mantik. Sumber pelajarannya, biasanya, kitab-kitab berbahasa
Arab yang tidak berharakat atau gundul, yang biasa disebut dengan “Kitab
Kuning”.
Para pendidik dan pengajarnya biasa disebut kiai,
sedangkan murid-muridnya disebut para santri. Mereka bertempat tinggal di lokasi
yang sama, yaitu pondok pesantren.
Para santri yang belajar di pesantren datang dari
berbagai pelosok tanah air. Setelah selesai, mereka kembali ke daerahnya
masing-masing. Kebanyakan mereka mendirikan pesantren di daerahnya atau
mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat sekitar di daerahnya. Pesantren
merupakan tempat mencetak generasi muda Islam agar kelak menjadi kader umat dan
pemimpin masyarakat.
Sebagai kader umat dan pemimpin masyarakat, Islam
mengajarkan agar mereka bersatu untuk berjuang meraih kemerdekaan yang telah
dirampas oleh penjajah. Itulah sebabnya kemudian para kiai dan santri
mendirikan organisasi bersenjata untuk melawan penjajah, yaitu Hizbullah dan
Gerakan Kepanduan Islam.
Tidak sedikit para kiai dan para santri yang mengangkat
senjata berperang melawan kaum penjajah. Di antara kyai tersebut antara lain:
Imam Bonjol di Sumatera dan H. Zaenal Mustafa di Jawa
Barat.
3. Masa
Pembangunan
a. Peranan
Umat Islam pada Masa Pembangunan
Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan negara
Republik Indonesia, umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk, tampil di
barisan terdepan dalam perjuangan, baik perjuangan fisik (berperang) maupun
perjuangan diplomasi. Anda semua tentu mengetahui bahwa tidak lama setelah
proklamasi bangsa Indonesia dihadapkan pada peperangan-peperangan melawan
Negara-negara penjajah yang ingin kembali menancapkan kekuasaannya di bumi
Indonesia. Di tahun-tahun awal kelahirannya sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, bangsa Indonesia harus menghadapi Jepang (September 1945), negara
Sekutu (November 1945 - Maret 1946), dan Belanda (Agresi Belanda I pada 21 Juli
1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948).
Selain itu, kemerdekaan negara Republik
Indonesia dipertahankan melalui usaha-usaha diplomatik, yaitu perundingan
antara Indonesia dan Belanda, misalnya: perundingan Linggarjati (November
1946), perjanjian Renville (Desember 1947), perjanjian Roem Royen (April 1949),
dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag (2 November 1949). Alhamdulillah,
berkat perjuangan segenap bangsa Indonesia yang tidak mengenal lelah, baik
melalui perjuangan fisik maupun diplomatik, akhirnya Belanda mengakui
kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tahun 1949 M.
Dalam usaha mengisi kemerdekaan, pemerintah
dan segenap bangsa Indonesia melakukan usaha-usaha pembangunan dalam berbagai
bidang demi tercapainya tujuan nasional yang diamanatkan oleh UUD 1945. Usaha-usaha pembangunan yang berencana dan terarah
dimulai semenjak Repelita I (1969 - 1973) dan seterusnya.
Adapun
bidang-bidang yang dibangun oleh segenap bangsa Indonesia, di mana umat Islam
merupakan mayoritas adalah bidang agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
hankam.
Apakah pada masa
ini kita bangsa Indonesia, telah dapat mencapai cita-cita hidup berbangsa dan
bernegara? Yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila? Silakan kamu jawab sendiri!
b. Peranan Organisasi Islam dalam Masa Pembangunan
Organisasi Islam
yang ada pada masa pembangunan ini cukup banyak, antara lain : Muhammadiyah;
Nahdlatul Ulama (NU); Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), berdiri tahun 1947 di
Yogyakarta; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 17 April
1960 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975.
Peranan Muhammadiyah dalam masa pembangunan
antara lain :
§ Melakukan
usaha-usaha agar masyarakat Indonesia berilmu pengetahuan tinggi. berhudi
luhur, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Usaha-usaha itu antara lain :
mengadakan pengajian-pengajian, mendirikan sekolah-sekolah agama (madrasah),
mendirikan pesantren, mendirikan sekolah umum (TK, SD, SMP, SMU, dan
universitas).
§ Melakukan
usaha-usaha di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, antara lain
mendirikan Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), Panti
Asuhan, dan Pos Santunan Sosial.
Nahdlatul Ulama, yang pernah
berkiprah di bidang politik, dalam perkembangan selanjutnya melalui Munas MU
pada tanggal 18 - 21 Desember 1984 di Situbondo, dengan tegas menyatakan bahwa
NU meninggalkan aktivitas politik dan kembali ke khittah (tujuan dasar)
pada waktu didirikannya tahun 1926. Jadi, dewasa ini NU merupakan organisasi
Islam yang bergerak di bidang agama, sosial, dan kemasyarakatan. Usaha-usaha NU
antara lain :
§ Mendirikan
madrasah-madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan
Perguruan Tinggi.
§
Mendirikan,
mengelola, dan mengembangkan pesantren-pesantren. Di antaranya adalah Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari
pada tahun 1899 H).
§
Membantu
dan mengurusi anak-anak yatim dan fakir miskin.
Majelis Ulama Indonesia adalah organisasi keulamaan yang bersifat
independen, tidak berafiliasi kepada salah satu aliran politik, mazhab atau
aliran keagarnaan Islam yang ada di Indonesia. Adapun peranan
Majelis Ulama Indonesia pada masa pembangunan adalah :
§ Memberikan
fatwa dan nasihat keagamaan dalam masalah sosial kemasyarakatan kepada
pemerintah dan umat Islam Indonesia pada umumnya, sebagai amar ma‘ruf nahi
mungkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
§ Memperkuat
Ukhuwah Islamiah dan melaksanakan kerukunan antarumat beragama dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
§ MUI
adalah penghubung antara Ulama dan Umara serta menjadi penerjemah
timbal-balik antara pemerintah dan umat Islam Indonesia guna menyukseskan
pembangunan nasional.
Pada masa pembangunan ini
terdapat pula organisasi Islam yang menampung para cendekiawan Muslim yang
disebut ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). ICMI lahir pada Desember 1990 dan berkiprah pada hampir
semua aspek kehidupan bangsa. Organisasi ini pertama kali diketuai oleh Prof.
DR. B.J. Habibie, yang kemudian menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia.
c. Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Pembangunan
Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah badan yang berhubungan
dengan pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan umatnya di bidang pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia ada yang didirikan dan dikelola
langsung oleh pemerintah (Departemen Agama), seperti: Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Aliyah Negeri (MAN),
dan Institut Agama Islam Negeri (lAIN). lAIN sekarang berubah inenjadi UIN
(Universitas Islam Negeri) yang tidak hanya mendalami ilmu tentang keislaman,
seperti Fakultas Syariah dan Ushuluddin, tetapi juga mendalami ilmu pengetahuan
umum, seperti Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran.
Selain itu, ada pula lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan dan
dikelola oleh swasta, tapi di bawah pengawasan serta pembinaan Departemen
Agama, seperti :
Bustanul Atfal (taman kanak-kanak Islam), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan perguruan tinggi Islam (seperti : UNIMU,
UNISBA, UNISJA, UNISMA, dan lain-lain).
Adapun peranan-peranan
kelembagaan Islam dalam pembangunan antara lain :
2) Melakukan
usaha-usaha agar masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
3) Menumbuhkan
kesadaran berbangsa dan bernegara.
4) Memupuk persatuan dan kesatuan umat.
5) Mencerdaskan
bangsa Indonesia.
6) Mengadakan
pembinaan mental spiritual.
Biografi Dr. K.H. Idham
Khalid
Dr. K.H. Idham
Khalid lahir di Setur, Kalimantan Selatan, 5 Januari 1921. Pada tahun 1942
beliau menamatkan pendidikan di Kulliyatul Mu’alimin Al-Islamiah (KMI Putra)
Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Beliau memperoleh gelar Doktor Honoris Causa
dan Universitas Al-Azhar, Kairo. Beliau
menguasai secara aktif bahasa Arab. lnggris, dan Belanda, serta secara pasif
bahasa Jerman dan Prancis.
Karena ketekunannya
dalam belajar, keahliannya dalam berorganisasi dan kecintaannya pada
perjuangan, beliau merupakan sosok Muslim yang sukses. Kesuksesannya dapat
dilihat dalam beberapa hal, antara lain :
o Pada masa perang kemerdekaan RI aktif sebagai
anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan pada tahun 1947 ia menjadi anggota
Serikat Kerakyatan (SKJ).
o Menjadi anggota DPR pada masa pemenintahan
Republik Indonesia Serikat dan tahun 1949 - 1950.
o Menjabat Ketua Umum Pengurus Besar NU (1956 -
1984).
o Menjabat Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II
dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (1956 - 1957), juga menjabat Waperdam II dalam
Kabinet Juanda (1957 - 1959).
o Menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 -
1970).
o Menjadi Ketua DPR/MPR 1971 - 1977.
o Menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
pada tahun 1977 - 1983.
Sejak tidak banyak
kegiatannya di bidang politik beliau aktif di bidang dakwah dan pendidikan.
Beliau banyak memberikan ceramah di berbagai tempat dan mendirikan perguruan
Islam Al-Ma’arif di Cipete, Jakarta.
No comments:
Post a Comment